Minggu, 06 November 2011

SARJANA = PENGANGGURAN = BAWAHAN = PENGUSAHA

Share
Dunia pendidikan di Indonesia dalam kondisi “bingung”, berkembang tapi tidak mempunyai saluran yang jelas. Pendidikan tinggi menjadi salah satu yang termasuk ke dalam kondisi “bingung”. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa lebih banyak lulusan dari perguruan tinggi di Indonesia yang “bingung” harus melakukan apa setelah mendapat delar sarjana. Mau bekerja, jumlah lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan banyaknya lulusan yang dihasilkan sehingga tanpa ilmu yang cukup, relasi, ataupun modal financial yang memadai rasanya sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Kondisi yang cukup riskan memang bagi seorang Sarjana, dimana persaingan untuk menjadi seorang “bawahan” di dunia kerja sangatlah berat (lulusan > , lapangan pekerjaan ). Sehingga ada saja “kata-kata” yang diucapkan kepada seorang yang baru mendapat gelar sarjana, “SELAMAT DATANG DI DUNIA PENGANGGURAN”. Data menunjukkan bahwa angka pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2008 mencapai 9,39 juta jiwa atau 8,39 persen dari total angkatan kerja. Setuju atau tidak, inilah faktanya bahwa memang sulit untuk memperoleh pekerjaan. Apakah perguruan tinggi harus bangga menciptakan lulusan yang menjadi pengangguran?? Mungkin sudah menjadi “budaya” di banyak perguruan tinggi “menciptakan” lulusan-lulusan yang secara tidak langsung disiapkan untuk menjadi bawahan. Banyak perguruan tinggi yang merasa bangga apabila lulusannya bekerja di perusahaan terkenal, sampai-sampai di setiap promosi disebutkan “Lulusan kami bekerja di perusahaan XYZ”. Walaupun di perusahaan bonafit dengan posisi manager, tetap saja mereka menjadi “bawahan”., Cuma dibedakan insentif yang diterima atas jabatan mereka. Apakah perguruan tinggi harus bangga menciptakan lulusan yang menjadi bawahan?? Paradigma dunia pendidikan tinggi seharusnya sudah seharusnya dirubah, bukan bangga mencipakan pengangguran ataupun bawahan, tetapi harus bangga dengan menciptakan sarjana yang penuh dengan ide-ide cemerlang (kreatif), gagasan yang memukau, pikiran-pikiran yang kritis dalam membaca peluang usaha. Kondisi Indonesia yang masih dalam kategori Negara berkembang sebenarnya mengharuskan institusi pendidikan “menyiapkan” banyak calon enterpreneurship, bukan menciptakan calon “bawahan” karena tidak sebandingnya lapangan pekerjaan dengan jumlah lulusan, apalagi menciptakan calon “penganguran”. Peluang usaha sangatlah luas sepereti lautan, tidak seperti lapangan kerja. Sehingga tidak perlu dikhawatirkan kehabisan peluang usaha. Seperti ibarat takut kehabisan air minum di lautan, selama punya kemampuan maka air laut dapat diminum sehingga tak perlu risau akan dahaga. Jadi, seharusnya perguruan tinggi tidak terlena dengan kalimat “Lulusan kami bekerja di perusahaan XYZ”, tapi seharusnya “Lulusan kami mendirikan usaha XYZ” atau “Lulusan kami menjadi pengusaha XYZ” atau “Lulusan kami menciptakan XYZ”. Bangga mana, Pengangguran? Bawahan? atau Pengusaha?..